PERSOALAN TENTANG NILAI ETIKA
by : Politama Surakarta 2016
1. Ruang Lingkup Etika
Etika lebih menaruh perhatian
pada pembicaraan tentang prinsip pembenaran daripada tentang keputusan yang sungguh-sungguh
telah diadakan.
Etika tidak akan memberikan
kepada Anda arah yang khusus atau pedoman yang tegas dan tetap tentang
bagaimana caranya untuk hidup dengan bajik.
2. Kesusilaan dan Ketidaksusilaan
Kesusilaan dan
ketidaksusilaan tidak hanya bersangkutan dengan tingkah laku dalam masalah
seksual semata-mata. Mencuri, berbuat tidak adil, kejam dan sebagainya dapat
dipandang sebagai tindakan orang yang susila.
3. Arti Etika
Dalam hal
ini “Etis” adalah suatu predikat yang dipergunakan untuk memperbedakan barang-barang,
perbuatan-perbuatan atau orang-orang tertentu dengan yang lain.
”Etis”
dalam arti ini sama dengan ”susila” (moral). Hendaknya diingat, untuk dinamakan
bersifat susila tidak perlu sama dengan atau sesuai dengan kebiasaan yang tetap
dari suatu kelompok manusia. Karena mungkin juga kita dapat mencap salah satu
di antara kebiasaan yang tetap itu sendiri sebagai sesuatu yang tidak susila.
Etika
sebagai ilmu mungkin menyelidiki tentang: tanggapan kesusilaan. Etika sebagai Etika
normatif bersangkutan dengan membuat tanggapan. Dibedakan antara :
a.
Berbicara mengenai istilah Etika,
b.
Berbicara dalam istilah Etika.
a.1)
Etika Deskriptif
Ilmu
Pengetahuan (Etika) semata-mata bersifat deskriptif dan hanya berusaha untuk
membuat deskripsi yang cermat. Etika deskriptif mungkin merupakan suatu cabang
sosiologi, tetapi ilmu tersebut penting bila kita mempelajari Etika untuk
mengetahui apa yang dianggap baik dan apa yang dianggap tidak baik.
Etika
deskriptif bersangkutan dengan pencatatan terhadap corak-corak, predikat-predikat serta
tanggapan-tanggapan kesusilaan yang dapat ditemukan. Berhubung dengan itu, Ilmu
ini tidak dapat membicarakan tentang ukuran-ukuran bagi tanggapan kesusilaan
yang baik, meskipun kadang-kadang Etika deskriptif mencampuradukkan, antara
menerima suatu tanggapan kesusilaan dengan kebenarannya.
Singkatnya,
Etika hanya melukiskan tentang predikat dan tanggapan kesusilaan yang telah
diterima dan dipakai.
2) Etika Normatif
Etika
dipandang sebagai suatu ilmu yang mengadakan ukuran atau norma yang dapat
dipakai untuk menanggapi atau menilai perbuatan. Menerangkan tentang apa yang
seharusnya terjadi dan apa yang harus dilakukan, dan memungkinkan kita untuk
mengukur dengan apa yang seharusnya terjadi.
Etika
normatif bersangkutan dengan penyelesaian ukuran kesusilaan yang benar.
b.1)
Etika Kefilsafatan
Untuk
mempertahankan pengertian Etika sebagai suatu Ilmu, tetapi menghindari untuk
menjabarkannya menjadi sosiologi, maka ada orang-orang yang berbicara tentang
Etika Kefilsafatan.
Analisa
tentang apa yang orang maksudkan bilamana mempergunakan predikat-predikat
kesusilaan. Analisa itu diperoleh dengan mengadakan penyelidikan tentang
penggunaan yang sesungguhnya dari predikat-predikat yang terdapat dalam
pernyataan-pernyataan.
2)
Etika Praktis
Dicontohkan
dilema yang dihadapi oleh seorang dokter yang menghadapi pasien yang sedang
sekarat.
Persoalannya :
-
Dokter dapat membunuh pasien, dengan demikian
melepaskannya dari rasa sakit yang diderita.
-
Timbul pertanyaan: ”apakah baik bagi saya sebagai seorang
dokter untuk membunuh pasien saya?”.
-
Diandaikan bahwa pasien itu minta dibunuh dan semua
anggota keluarganya setuju.
-
Hidup adalah milik Tuhan, apa hak dokter untuk
mencabutnya.
-
Tetapi bagaimana dengan kemungkinan berakhirnya rasa
sakit yang berarti kebahagiaan, dengan ”membunuh semua itu akan terjadi.
-
Dokter tidak berhak membunuh, bagaimanapun keadaan pasien
tersebut.
Di sinilah diperlukan Etika
Praktis.
4.
Persoalan Etika
a.
Prinsip apakah yang dapat ditetapkan, untuk ”dapat”
membuat tanggapan kesusilaan?
(Dalam setiap persoalan Etika
yang praktis, kesulitan yang dihadapi ialah untuk mencapai suatu keputusan
mengenai perbuatan apa yang harus dilakukan). Ini merupakan persoalan yang ke-2
(b) di bawah ini, yaitu:
b.
Apakah perbuatan yang baik itu berarti perbuatan yang
dapat dibenarkan secara kesusilaan?
Catatan :
Apabila dalam persoalan 1 (a)
perkataan dapat yang kedua ditiadakan, maka penyelidikannya dapat
dipersempit menjadi bidang Etika Deskriptif; apabila dapat tersebut
diubah menjadi seharusnya kita bersangkutan dengan Etika Normatif. Dalam
hal yang terakhir ini, kita dapat mengajukan pertanyaan ke-3 (c) di bawah ini,
yaitu.
c.
Apakah arti ”seharusnya” dan apakah yang menjadi sumber
keharusan ini.
d.
Adakah tanggapan kesusilaan itu dapat diverifikasi, dan
jika dapat bagaimana caranya?
e.
Arti apakah yang dikandung oleh predikat-predikat nilai
itu.
- Mencakup pertanyaan mengenai
arti ”seharusnya”.
5.
Tanggapan Kesusilaan Hanya Ungkapan Emosi?
”Pembunuhan
adalah sesuatu yang buruk dan tidak boleh dilakukan”.
Terdiri dari 2 pernyataan :
a.
”Pembunuhan adalah sesuatu yang buruk”.
b.
”Pembunuhan tidak boleh dilakukan”.
Kalimat kognitif terdiri dari 2
macam:
a.
Kalimat kognitif yang kebenarannya tergantung pada arti
yang dikandung oleh istilahnya atau kalimat analitis.
b.
Kalimat kognitif yang kebenarannya tergantung pada
sesuatu pengamatan empirik atau indera, atau kalimat sintesis.
6.
Persoalan Etika Teoritik
a.
Etika teoritik membahas tentang asas-asas yang melandasi
sistem kesusilaan.
Etika
Praktik: Etika terapan membicarakan masalah-masalah kesusilaan yang konkrit.
Etika
terapan membutuhkan banyak pengetahuan mengenai masalah yang dihadapi manusia
sehari-hari. Contoh : Masalah yang menyangkut pencemaran lingkungan tidak
mungkin dapat semata-mata diselesaikan oleh ahli kesusilaan.
Suatu
penalaran yang bersifat kesusilaan mencakup baik premise yang bercorak
kesusilaan, maupun yang bercorak kenyataan empirik. Ditinjau dari segi teori
mungkin saja ada penalaran yang semata-mata menggunakan premise yang bercorak
kesusilaan, namun dalam kenyataannya jarang terdapat.
1)
Salah satu di antara persoalan yang terdapat dalam Etika
teoritik adalah berbentuk pertanyaan. Apakah dapat dikatakan bahwa pada diri umat
manusia terdapat keseragaman asasi dalam hal keyakinan kemanusiaan? Apakah pada
dasarnya manusia mempunyai pendirian yang sama tentang baik dan buruk? Tingkat
pertama tentu akan mendapat jawaban ingkar.
Ada suatu
kesusilaan yang bersifat ”alami” yang merupakan ciri khas manusia, perlu
diajukan alasan-alasan kuat untuk membenarkannya.
Pertama. Kesimpulan yang
bersifat kesusilaan, tidak hanya tergantung pada premise yang bercorak
kesusilaan, tetapi juga pada premise empirik.
Kedua. Diakui bahwa manusia
berbeda keyakinan dalam bidang kesusilaan, dan dalam hal ini pendapat itu berkembang.
Ketiga. Dikatakan pula bahwa
memang di antara umat manusia, kita dapati perbedaan dalam hal keyakinan
kesusilaan yang untuk sementara belum dapat tumbuh saling mendekati, tetapi
sesungguhnya perbedaan tersebut tidaklah sebesar yang disangka orang.
2)
Persoalan lain, ialah bersangkutan dengan kebebasan
manusia dan persoalan determinisme. Determinisme mengatakan bahwa segala
sesuatu sudah ditentukan berdasarkan hukum sebab-akibat, dan ini harus pula
diterapkan dalam Etika.
Sesungguhnya
perbuatan yang dilakukan sepenuhnya ditentukan oleh pelbagai macam motif. Di
samping itu watak kita ditentukan oleh asal-usul keturunan, lingkungan, dan
lain sebagainya.
Di lain
pihak pendapat lain mengatakan bahwa tidak mungkin ada perbuatan kesusilaan
apabila orang-orang yang melakukan perbuatan itu tidak dapat dimintai
pertanggungjawaban atas perbuatan tadi. ”Ought impies can”.
-
Determinisme keekonomian, misal: Marxisme, gagasan yang
dipunyai oleh manusia, perbuatan yang dilakukan ditentukan oleh keadaan
ekonominya.
-
Determinisme Metafisik, misal pada Benedict de Spinosa,
yang mengatakan bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam sejarah dunia
berlangsung secara niscaya (mau tak mau pasti terdapat/ terjadi) dan
segala-galanya difahamkan sebagai Tuhan.
-
Determinisme keagamaan, yang mengatakan bahwa
sesungguhnya yang melakukan perbuatan apa saja itu (pada hakikatnya) adalah
Tuhan. Contoh: Augustinus dan Calvin, yang menegaskan berhasilnya usaha
penyelamatan jiwa manusia yang di dalamnya manusia turut ambil bagian,
sepenuhnya hasil pemberian karunia oleh Tuhan.
Sedangkan
yang termasuk tokoh Indeterminisme serta faham kebebasan manusia antara lain
Immanuel Kant dan Jean Paul Sartre. Kant tidak memungkiri bahwa segala sesuatu
yang terdapat dalam dunia, gejala-gejalanya ditentukan oleh berlakunya hukum
sebab-akibat.
Di dalam
dunia gajala manusia sepenuhnya ditentukan oleh berlakunya hukum sebab-akibat
sedangkan di dalam dunia yang adanya tidak tergantung dan diketahui atau tidak
oleh manusia, manusia itu memiliki kebebasannya .
Sartre dan
sebagian besar penganut Eksistensialisme mengakui bahwa manusia itu sejak
semula sudah ditentukan untuk berada di dalam situasi tertentu, yaitu :
a)
Tempat tinggal (My Place)
Tempat tinggal merupakan tempat
kita berada dan mempengaruhi struktur eksistensi kita.
b)
Masa lampau (My Past).
Masa lampau kita, yang tidak
mungkin dapat kita hilangkan.
c)
Lingkungan (My Environment)
d)
Sesama (My Fellowman)
e)
Kematian (My Death).
b.
Di samping ada Etika Individual yaitu Etika yang
menyangkut manusia sebagai perorangan saja, ada Etika sosial yang menyangkut
hubungan antar-perorangan.
Di samping
Etika membicarakan peningkatan kualitas manusia perorangan, juga mempersoalkan
umpamanya hubungan yang ada di lingkungan keluarga, problema perang, dan
sebagainya.
Tetapi ke
dua bagian Etika tersebut tidak dapat dipisahkan, walaupun dapat dibedakan. Bahkan pembedaannya sukar
diterapkan. Sebab perorangan itu selalu tetap perorangan dalam masyarakat. Di
lain pihak manusia sebagai ”Aku” yang unik, dan eksistensial, juga tidak ada
seorang pun yang berdiri sendiri.
Demikianlah
tetap dibedakan Etika Individual sebagai ajaran tentang sikap tingkah laku
perbuatan yang baik bagi perorangan dan Etika Sosial sebagai ajaran yang sama
bagi perorangan sebagai bagian dari kesatuan yang lebih besar.
Masalah
yang timbul dalam Etika Sosial.
1)
Tujuan Etika itu memberitahukan, bagaimana kita dapat
menolong manusia di dalam kebutuhannya yang riil dengan cara yang susila dapat
dipertanggungjawabkan. Guna mencapai tujuan ini, seorang Etikus Sosial tidak
hanya harus tahu norma-norma susila yang berlaku, melainkan ia harus tahu pula
kebutuhan yang tersebut tadi, dan sebab-sebab timbulnya kebutuhan tadi.
2)
Dalam Etika Sosial lebih mudah timbul beragam pandangan
dibandingkan Etika Individual. Norma-norma harus selalu diterapkan pada keadaan
yang konkrit, setiap norma menjelmakan kewajiban. Kewajiban yang paling umum
itu melakukan kebaikan.
Dalam
kenyataan terbukti bahwa tidak hanya ada satu kewajiban, melainkan berbagai
kewajiban. Sebabnya, di dunia ini tidak hanya satu, tetapi ada beragam
norma.
7.
Persoalan Etika Normatif
Etika
Normatif, sebenarnya merupakan sebuah aturan yang mengarahkan secara konkrit,
tentang bagaimana seharusnya bertingkah laku.
Konsep
keadilan itu baik, persahabatan itu baik, kebencian, permusuhan itu buruk yang
semuanya masih bersifat abstrak universal, memerlukan penjabaran kriterianya.
Persoalan
yang timbul adalah analisa meta-etika yang menanyakan relevansi Etika normatif,
dalam kedudukannya sebagai Etika makro. Pengalaman mengajarkan begitu nilai
dasar dinormakan, maka akan kehilangan makna. Apakah pada dasarnya nilai-nilai
dasar tidak membutuhkan ”pelembagaan” khusus.
Persoalan
baru yang muncul, atas dasar apa perbuatan manusia dinilai. Manusia tidak dapat
hidup tanpa pedoman. Benturan antara kebutuhan terhadap Etika Normatif dengan
keterbatasannya mengisyaratkan adanya kaitan meta-etika dalam persoalan Etika
Normatif.
8.
Persoalan yang ingin dipecahkan adalah kenyataan bahwa
masalah meta-etika memang tidak selalu menjamin kelurusan Etika Normatif,
tetapi paling tidak tetap berfungsi sebagai petunjuk. Khususnya ketika suatu
nilai dasar, sudah mulai dibuat sebagai norma yang tertutup. Etika Normatif
yang seharusnya berfungsi sebagai petunjuk, menjadi bergerak ke arah
sebaliknya.
Persoalan
lain adalah menyangkut datangnya nilai dasar itu sendiri.
a.
Tinjauan Teori-teori Dasar Etika Normatif
1)
Ditinjau asal kejadiannya, Etika Normatif berkisar dalam
dua pola dasar.
Pertama :
Teori Deontologis (Yunani: Deon,
yang diharuskan, yang wajib) megatakan bahwa betul salahnya tindakan tidak
dapat ditentukan dari akibat-akibat tindakan itu melainkan ada cara bertindak
yang begitu saja terlarang, atau begitu saja wajib.
Kedua
:
Teori Teleologis (Yunani: Telos,
Tujuan) mengatakan bahwa betul tidaknya tindakan justru tergantung dari
akibat-akibatnya: Kalau akibatnya baik, boleh atau bahkan wajib melakukan,
kalau akibatnya buruk, tidak boleh.
Ketentuan-ketentuan:
Teori Deontologis, kelemahannya
justru pada sifat megharuskannya yang tidak dapat ditawar-tawar. Tentu saja kaidah
seperti itu hanya akan menghilangkan keluwesan menanggapi perubahan situasi,
atau perkembangan waktu. Ekstrimnya, telah mendidik manusia bersikap fanatisme
buta. Di samping itu teori deontologis tidak mampu memecahkan dilema etis.
Contoh: Jangan membunuh orang lain.
Lalu
bagaimana kalau orang itu gila, mengamuk dan membunuh banyak orang. Situasinya
hanya mengharuskan satu pilihan, orang itu harus dibunuh.
Kelemahan
Teori Teleologis
-
Menghilangkan dasar yang membawa kepastian. Setiap
alternatif baru yang menguntungkan (akibatnya) dapat diakui sebagai normanya.
-
Tidak mempunyai ketegasan
-
Mudah terjebak pada kaidah untuk menghalalkan segala
cara.
Sehingga merampok, membunuh,
memperkosa dapat dibenarkan apabila tujuannya baik.
Antara
teori deontologis dengan teori teleologis, saling dapat mengisi kelemahan
masing-masing. Situasi khusus dari teori teleologis, dapat dijadikan dasar
pertimbangan, interpretasi dari deontologis. Sebaliknya, kekhasan deontologis
dapat dimanfaatkan untuk mengarahkan teleologis, agar kepastian dalam
menanggapi realitas dapat ditemui.
2)
Ditinjau dari sudut aspirasinya, ada dua pokok yang dapat
digolongkan:
Pertama:
Sistem Etika yang dibangun dari
”aspirasi atas”, disusun dari sesuatu yang transeden yang telah diakui kekuatan
dan kebenarannya. Vertikal dan berlakunya mutlak. sering ditemui dalam Etika
keagamaan, yang melibatkan Tuhan dalam kerangka moralnya. Model ini mempunyai
kelebihan dalam menjawab batas definitif kemanusiaan, yaitu maut dan kehidupan
sesudahnya. disebut ”Heteronomos” (Adam Schaaf).
-
Adanya faktor luar kekuatan manusia yang kita campur
dalam memecahkan problem manusia.
Kedua:
Sistem Etika yang disusun melalui
”aspirasi bawah”
Yang menjadi landasan adalah
fenomena dan realita eksistensi manusia. Menurut sistem ini tidak mungkin
manusia, akan tepat mengarahkan dirinya, jika ia tidak berangkat dari
pengalaman hidupnya. disebut ”Autonomos” melalui ”experience vacue” (Bergson).
Persoalan
:
Dari sudut Agama, Etika
heteronomos tidak ada masalah. Soalnya menjadi lain dengan tinjauan filosofik.
-
Tidak berlaku bagi orang yang tidak beriman.
-
Apakah kehendak Tuhan itu
-
Terperangkap dalam Irasiolisme
Sistem Etika Autonomos,
terdapat kelemahan :
-
Kecenderungan humanisme mutlak yang menonjolkan akal,
sehingga cenderung menghilangkan dimensi trensendental.
-
Rasionalisasi yang menghilangkan aspek batiniah.
Pemecahan:
Sistem Etika yang bersendikan
rasionalitas mengandung risiko kerelativan dalam berlakunya.
Hanya soalnya bagaimana Etika
keagamaan tidak terjebak pada sikap irasionalitas. Kerelativan tersebut dapat
dihilangkan dengan sendi-sendi transendentel.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar