POLITAMA

Rabu, 03 Februari 2016

PERSOALAN ETIKA TEORITIK DAN NORMATIF

         PERSOALAN TENTANG NILAI ETIKA

by : Politama Surakarta 2016

1.      Ruang Lingkup Etika
Etika lebih menaruh perhatian pada pembicaraan tentang prinsip pembenaran daripada tentang keputusan yang sungguh-sungguh telah diadakan.
Etika tidak akan memberikan kepada Anda arah yang khusus atau pedoman yang tegas dan tetap tentang bagaimana caranya untuk hidup dengan bajik.
2.      Kesusilaan dan Ketidaksusilaan
Kesusilaan dan ketidaksusilaan tidak hanya bersangkutan dengan tingkah laku dalam masalah seksual semata-mata. Mencuri, berbuat tidak adil, kejam dan sebagainya dapat dipandang sebagai tindakan orang yang susila.
3.      Arti Etika
Dalam hal ini “Etis” adalah suatu predikat yang dipergunakan untuk memperbedakan barang-barang, perbuatan-perbuatan atau orang-orang tertentu dengan yang lain.

”Etis” dalam arti ini sama dengan ”susila” (moral). Hendaknya diingat, untuk dinamakan bersifat susila tidak perlu sama dengan atau sesuai dengan kebiasaan yang tetap dari suatu kelompok manusia. Karena mungkin juga kita dapat mencap salah satu di antara kebiasaan yang tetap itu sendiri sebagai sesuatu yang tidak susila.

Etika sebagai ilmu mungkin menyelidiki tentang: tanggapan kesusilaan. Etika sebagai Etika normatif bersangkutan dengan membuat tanggapan. Dibedakan antara :
a.       Berbicara mengenai istilah Etika,
b.      Berbicara dalam istilah Etika.

a.1)      Etika Deskriptif
Ilmu Pengetahuan (Etika) semata-mata bersifat deskriptif dan hanya berusaha untuk membuat deskripsi yang cermat. Etika deskriptif mungkin merupakan suatu cabang sosiologi, tetapi ilmu tersebut penting bila kita mempelajari Etika untuk mengetahui apa yang dianggap baik dan apa yang dianggap tidak baik.
Etika deskriptif bersangkutan dengan pencatatan terhadap   corak-corak, predikat-predikat serta tanggapan-tanggapan kesusilaan yang dapat ditemukan. Berhubung dengan itu, Ilmu ini tidak dapat membicarakan tentang ukuran-ukuran bagi tanggapan kesusilaan yang baik, meskipun kadang-kadang Etika deskriptif mencampuradukkan, antara menerima suatu tanggapan kesusilaan dengan kebenarannya.
Singkatnya, Etika hanya melukiskan tentang predikat dan tanggapan kesusilaan yang telah diterima dan dipakai.

2)   Etika Normatif
Etika dipandang sebagai suatu ilmu yang mengadakan ukuran atau norma yang dapat dipakai untuk menanggapi atau menilai perbuatan. Menerangkan tentang apa yang seharusnya terjadi dan apa yang harus dilakukan, dan memungkinkan kita untuk mengukur dengan apa yang seharusnya terjadi.
Etika normatif bersangkutan dengan penyelesaian ukuran kesusilaan yang benar.

b.1)      Etika Kefilsafatan
Untuk mempertahankan pengertian Etika sebagai suatu Ilmu, tetapi menghindari untuk menjabarkannya menjadi sosiologi, maka ada orang-orang yang berbicara tentang Etika Kefilsafatan.
Analisa tentang apa yang orang maksudkan bilamana mempergunakan predikat-predikat kesusilaan. Analisa itu diperoleh dengan mengadakan penyelidikan tentang penggunaan yang sesungguhnya dari predikat-predikat yang terdapat dalam pernyataan-pernyataan.

2)      Etika Praktis
Dicontohkan dilema yang dihadapi oleh seorang dokter yang menghadapi pasien yang sedang sekarat.
Persoalannya :
-          Dokter dapat membunuh pasien, dengan demikian melepaskannya dari rasa sakit yang diderita.
-          Timbul pertanyaan: ”apakah baik bagi saya sebagai seorang dokter untuk membunuh pasien saya?”.
-          Diandaikan bahwa pasien itu minta dibunuh dan semua anggota keluarganya setuju.
-          Hidup adalah milik Tuhan, apa hak dokter untuk mencabutnya.
-          Tetapi bagaimana dengan kemungkinan berakhirnya rasa sakit yang berarti kebahagiaan, dengan ”membunuh semua itu akan terjadi.
-          Dokter tidak berhak membunuh, bagaimanapun keadaan pasien tersebut.
Di sinilah diperlukan Etika Praktis.

4.      Persoalan Etika
a.       Prinsip apakah yang dapat ditetapkan, untuk ”dapat” membuat tanggapan kesusilaan?
(Dalam setiap persoalan Etika yang praktis, kesulitan yang dihadapi ialah untuk mencapai suatu keputusan mengenai perbuatan apa yang harus dilakukan). Ini merupakan persoalan yang ke-2 (b) di bawah ini, yaitu:
b.      Apakah perbuatan yang baik itu berarti perbuatan yang dapat dibenarkan secara kesusilaan?
Catatan :
Apabila dalam persoalan 1 (a) perkataan dapat yang kedua ditiadakan, maka penyelidikannya dapat dipersempit menjadi bidang Etika Deskriptif; apabila dapat tersebut diubah menjadi seharusnya kita bersangkutan dengan Etika Normatif. Dalam hal yang terakhir ini, kita dapat mengajukan pertanyaan ke-3 (c) di bawah ini, yaitu.
c.       Apakah arti ”seharusnya” dan apakah yang menjadi sumber keharusan ini.
d.      Adakah tanggapan kesusilaan itu dapat diverifikasi, dan jika dapat bagaimana caranya?
e.       Arti apakah yang dikandung oleh predikat-predikat nilai itu.
- Mencakup pertanyaan mengenai arti ”seharusnya”.

5.      Tanggapan Kesusilaan Hanya Ungkapan Emosi?
”Pembunuhan adalah sesuatu yang buruk dan tidak boleh dilakukan”.
Terdiri dari 2 pernyataan :
a.       ”Pembunuhan adalah sesuatu yang buruk”.
b.      ”Pembunuhan tidak boleh dilakukan”.

Kalimat kognitif terdiri dari 2 macam:
a.       Kalimat kognitif yang kebenarannya tergantung pada arti yang dikandung oleh istilahnya atau kalimat analitis.
b.      Kalimat kognitif yang kebenarannya tergantung pada sesuatu pengamatan empirik atau indera, atau kalimat sintesis.


6.      Persoalan Etika Teoritik
a.       Etika teoritik membahas tentang asas-asas yang melandasi sistem kesusilaan.
Etika Praktik: Etika terapan membicarakan masalah-masalah kesusilaan yang konkrit.
Etika terapan membutuhkan banyak pengetahuan mengenai masalah yang dihadapi manusia sehari-hari. Contoh : Masalah yang menyangkut pencemaran lingkungan tidak mungkin dapat semata-mata diselesaikan oleh ahli kesusilaan.
Suatu penalaran yang bersifat kesusilaan mencakup baik premise yang bercorak kesusilaan, maupun yang bercorak kenyataan empirik. Ditinjau dari segi teori mungkin saja ada penalaran yang semata-mata menggunakan premise yang bercorak kesusilaan, namun dalam kenyataannya jarang terdapat.

1)      Salah satu di antara persoalan yang terdapat dalam Etika teoritik adalah berbentuk pertanyaan. Apakah dapat dikatakan bahwa pada diri umat manusia terdapat keseragaman asasi dalam hal keyakinan kemanusiaan? Apakah pada dasarnya manusia mempunyai pendirian yang sama tentang baik dan buruk? Tingkat pertama tentu akan mendapat jawaban ingkar.
Ada suatu kesusilaan yang bersifat ”alami” yang merupakan ciri khas manusia, perlu diajukan alasan-alasan kuat untuk membenarkannya.
Pertama. Kesimpulan yang bersifat kesusilaan, tidak hanya tergantung pada premise yang bercorak kesusilaan, tetapi juga pada premise empirik.
Kedua. Diakui bahwa manusia berbeda keyakinan dalam bidang kesusilaan, dan dalam hal ini pendapat itu berkembang.
Ketiga. Dikatakan pula bahwa memang di antara umat manusia, kita dapati perbedaan dalam hal keyakinan kesusilaan yang untuk sementara belum dapat tumbuh saling mendekati, tetapi sesungguhnya perbedaan tersebut tidaklah sebesar yang disangka orang.

2)      Persoalan lain, ialah bersangkutan dengan kebebasan manusia dan persoalan determinisme. Determinisme mengatakan bahwa segala sesuatu sudah ditentukan berdasarkan hukum sebab-akibat, dan ini harus pula diterapkan dalam Etika.
Sesungguhnya perbuatan yang dilakukan sepenuhnya ditentukan oleh pelbagai macam motif. Di samping itu watak kita ditentukan oleh asal-usul keturunan, lingkungan, dan lain sebagainya.
Di lain pihak pendapat lain mengatakan bahwa tidak mungkin ada perbuatan kesusilaan apabila orang-orang yang melakukan perbuatan itu tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas perbuatan tadi. ”Ought impies can”.
-          Determinisme keekonomian, misal: Marxisme, gagasan yang dipunyai oleh manusia, perbuatan yang dilakukan ditentukan oleh keadaan ekonominya.
-          Determinisme Metafisik, misal pada Benedict de Spinosa, yang mengatakan bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam sejarah dunia berlangsung secara niscaya (mau tak mau pasti terdapat/ terjadi) dan segala-galanya difahamkan sebagai Tuhan.
-          Determinisme keagamaan, yang mengatakan bahwa sesungguhnya yang melakukan perbuatan apa saja itu (pada hakikatnya) adalah Tuhan. Contoh: Augustinus dan Calvin, yang menegaskan berhasilnya usaha penyelamatan jiwa manusia yang di dalamnya manusia turut ambil bagian, sepenuhnya hasil pemberian karunia oleh Tuhan.
Sedangkan yang termasuk tokoh Indeterminisme serta faham kebebasan manusia antara lain Immanuel Kant dan Jean Paul Sartre. Kant tidak memungkiri bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam dunia, gejala-gejalanya ditentukan oleh berlakunya hukum sebab-akibat.
Di dalam dunia gajala manusia sepenuhnya ditentukan oleh berlakunya hukum sebab-akibat sedangkan di dalam dunia yang adanya tidak tergantung dan diketahui atau tidak oleh manusia, manusia itu memiliki kebebasannya .

Sartre dan sebagian besar penganut Eksistensialisme mengakui bahwa manusia itu sejak semula sudah ditentukan untuk berada di dalam situasi tertentu, yaitu :
a)      Tempat tinggal (My Place)
Tempat tinggal merupakan tempat kita berada dan mempengaruhi struktur eksistensi kita.
b)      Masa lampau (My Past).
Masa lampau kita, yang tidak mungkin dapat kita hilangkan.
c)      Lingkungan (My Environment)
d)      Sesama (My Fellowman)
e)      Kematian (My Death).

b.      Di samping ada Etika Individual yaitu Etika yang menyangkut manusia sebagai perorangan saja, ada Etika sosial yang menyangkut hubungan antar-perorangan.
Di samping Etika membicarakan peningkatan kualitas manusia perorangan, juga mempersoalkan umpamanya hubungan yang ada di lingkungan keluarga, problema perang, dan sebagainya.
Tetapi ke dua bagian Etika tersebut tidak dapat dipisahkan, walaupun dapat dibedakan. Bahkan pembedaannya sukar diterapkan. Sebab perorangan itu selalu tetap perorangan dalam masyarakat. Di lain pihak manusia sebagai ”Aku” yang unik, dan eksistensial, juga tidak ada seorang pun yang berdiri sendiri.
Demikianlah tetap dibedakan Etika Individual sebagai ajaran tentang sikap tingkah laku perbuatan yang baik bagi perorangan dan Etika Sosial sebagai ajaran yang sama bagi perorangan sebagai bagian dari kesatuan yang lebih besar.

Masalah yang timbul dalam Etika Sosial.
1)      Tujuan Etika itu memberitahukan, bagaimana kita dapat menolong manusia di dalam kebutuhannya yang riil dengan cara yang susila dapat dipertanggungjawabkan. Guna mencapai tujuan ini, seorang Etikus Sosial tidak hanya harus tahu norma-norma susila yang berlaku, melainkan ia harus tahu pula kebutuhan yang tersebut tadi, dan sebab-sebab timbulnya kebutuhan tadi.

2)      Dalam Etika Sosial lebih mudah timbul beragam pandangan dibandingkan Etika Individual. Norma-norma harus selalu diterapkan pada keadaan yang konkrit, setiap norma menjelmakan kewajiban. Kewajiban yang paling umum itu melakukan kebaikan.
Dalam kenyataan terbukti bahwa tidak hanya ada satu kewajiban, melainkan berbagai kewajiban. Sebabnya, di dunia ini tidak hanya satu, tetapi ada beragam norma.

7.      Persoalan Etika Normatif

Etika Normatif, sebenarnya merupakan sebuah aturan yang mengarahkan secara konkrit, tentang bagaimana seharusnya bertingkah laku.
Konsep keadilan itu baik, persahabatan itu baik, kebencian, permusuhan itu buruk yang semuanya masih bersifat abstrak universal, memerlukan penjabaran kriterianya.
Persoalan yang timbul adalah analisa meta-etika yang menanyakan relevansi Etika normatif, dalam kedudukannya sebagai Etika makro. Pengalaman mengajarkan begitu nilai dasar dinormakan, maka akan kehilangan makna. Apakah pada dasarnya nilai-nilai dasar tidak membutuhkan ”pelembagaan” khusus.
Persoalan baru yang muncul, atas dasar apa perbuatan manusia dinilai. Manusia tidak dapat hidup tanpa pedoman. Benturan antara kebutuhan terhadap Etika Normatif dengan keterbatasannya mengisyaratkan adanya kaitan meta-etika dalam persoalan Etika Normatif.

8.      Persoalan yang ingin dipecahkan adalah kenyataan bahwa masalah meta-etika memang tidak selalu menjamin kelurusan Etika Normatif, tetapi paling tidak tetap berfungsi sebagai petunjuk. Khususnya ketika suatu nilai dasar, sudah mulai dibuat sebagai norma yang tertutup. Etika Normatif yang seharusnya berfungsi sebagai petunjuk, menjadi bergerak ke arah sebaliknya.

Persoalan lain adalah menyangkut datangnya nilai dasar itu sendiri.
a.       Tinjauan Teori-teori Dasar Etika Normatif
1)      Ditinjau asal kejadiannya, Etika Normatif berkisar dalam dua pola dasar.
Pertama :
Teori Deontologis (Yunani: Deon, yang diharuskan, yang wajib) megatakan bahwa betul salahnya tindakan tidak dapat ditentukan dari akibat-akibat tindakan itu melainkan ada cara bertindak yang begitu saja terlarang, atau begitu saja wajib.
                        Kedua :
Teori Teleologis (Yunani: Telos, Tujuan) mengatakan bahwa betul tidaknya tindakan justru tergantung dari akibat-akibatnya: Kalau akibatnya baik, boleh atau bahkan wajib melakukan, kalau akibatnya buruk, tidak boleh.
Ketentuan-ketentuan:
Teori Deontologis, kelemahannya justru pada sifat megharuskannya yang tidak dapat ditawar-tawar. Tentu saja kaidah seperti itu hanya akan menghilangkan keluwesan menanggapi perubahan situasi, atau perkembangan waktu. Ekstrimnya, telah mendidik manusia bersikap fanatisme buta. Di samping itu teori deontologis tidak mampu memecahkan dilema etis. Contoh: Jangan membunuh orang lain.
Lalu bagaimana kalau orang itu gila, mengamuk dan membunuh banyak orang. Situasinya hanya mengharuskan satu pilihan, orang itu harus dibunuh.
Kelemahan Teori Teleologis
-          Menghilangkan dasar yang membawa kepastian. Setiap alternatif baru yang menguntungkan (akibatnya) dapat diakui sebagai normanya.
-          Tidak mempunyai ketegasan
-          Mudah terjebak pada kaidah untuk menghalalkan segala cara.
Sehingga merampok, membunuh, memperkosa dapat dibenarkan apabila tujuannya baik.
Antara teori deontologis dengan teori teleologis, saling dapat mengisi kelemahan masing-masing. Situasi khusus dari teori teleologis, dapat dijadikan dasar pertimbangan, interpretasi dari deontologis. Sebaliknya, kekhasan deontologis dapat dimanfaatkan untuk mengarahkan teleologis, agar kepastian dalam menanggapi realitas dapat ditemui.



2)      Ditinjau dari sudut aspirasinya, ada dua pokok yang dapat digolongkan:
Pertama:
Sistem Etika yang dibangun dari ”aspirasi atas”, disusun dari sesuatu yang transeden yang telah diakui kekuatan dan kebenarannya. Vertikal dan berlakunya mutlak. sering ditemui dalam Etika keagamaan, yang melibatkan Tuhan dalam kerangka moralnya. Model ini mempunyai kelebihan dalam menjawab batas definitif kemanusiaan, yaitu maut dan kehidupan sesudahnya. disebut ”Heteronomos” (Adam Schaaf).
-         Adanya faktor luar kekuatan manusia yang kita campur dalam memecahkan problem manusia.
Kedua:
Sistem Etika yang disusun melalui ”aspirasi bawah”
Yang menjadi landasan adalah fenomena dan realita eksistensi manusia. Menurut sistem ini tidak mungkin manusia, akan tepat mengarahkan dirinya, jika ia tidak berangkat dari pengalaman hidupnya. disebut ”Autonomos” melalui ”experience vacue” (Bergson).

Persoalan :
Dari sudut Agama, Etika heteronomos tidak ada masalah. Soalnya menjadi lain dengan tinjauan filosofik.
-         Tidak berlaku bagi orang yang tidak beriman.
-         Apakah kehendak Tuhan itu
-         Terperangkap dalam Irasiolisme

Sistem Etika Autonomos, terdapat kelemahan :
-         Kecenderungan humanisme mutlak yang menonjolkan akal, sehingga cenderung menghilangkan dimensi trensendental.
-         Rasionalisasi yang menghilangkan aspek batiniah.

Pemecahan:
Sistem Etika yang bersendikan rasionalitas mengandung risiko kerelativan dalam berlakunya.
Hanya soalnya bagaimana Etika keagamaan tidak terjebak pada sikap irasionalitas. Kerelativan tersebut dapat dihilangkan dengan sendi-sendi transendentel.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar